Belajar dari kopi
Saya mulai manual brew kopi sendiri sejak Desember 2019. Sebelumnya, saya minum kopi sachetan. Lalu seorang teman menyarankan untuk brew sendiri kopi yang dibeli dari roastery, karena lebih sehat. Komposisinya jelas. Kopi, dan air panas. Dimulailah perjalanan kopi saya, dan menariknya, saya bisa belajar banyak dari sebuah proses brewing.
Kopi sebagai rutinitas. Proses manual brew menjadi rutinitas saya di pagi hari. Heat the water. Grind the beans. Wet the filter. Blooming. First pour. Second pour. Tidy up. Enjoy. I find peace in the process.
Kopi membiasakan bereksperimen. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi rasa kopi hasil brew. Alat brew, V60? Kalita? and many others. Grind size. Bean varieties. Water temperature. Brewing method. Brewing time. Better tools. Dan lain-lain. Ini membuat proses membuat kopi tetap menarik. It kept me curious. It makes me think "what can I change to get a better result? what needs to stay the same?".
Kopi sebagai topik networking. Seringkali sepak bola menjadi conversation starter. Tapi saya tidak suka sepak bola. Kopi lah yang sering menjadi conversation starter saya. Ga kalah banyak topiknya.
Setting budget dan limit. Seperti hobi lainnya, coffee too, can get very expensive. Better kettle. Rare bean varieties. Better grinder. Even better grinder. Prettier scale. And many more. But there's a diminishing point where I need to decide and stop my GAS (Gear Acquisition Syndrome). This is enough. The coffee is good enough.
Itulah beberapa hal yang bisa saya pelajari dari proses brewing kopi. And by the end of writing this post, I finished my morning coffee too.